YOGYAKARTA, iNews.id – Kebahagiaan menyelimuti Muhammad Arifin Ilham (18) anak korban Tsunami Aceh setelah diterima di Universitas Gadjah Mada (UGM) tanpa tes.
Arifin diterima di Prodi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM melalui jalur seleksi nasional berdasarkan prestasi (SNBP) 2023.
Dia menjadi penerima UKT Pendidikan Unggul bersubsidi 100 persen atau UKT 0 dari UGM yang dibebaskan dari biaya kuliah hingga delapan semester. Arifin juga menjadi kandidat penerima beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari pemerintah.
Arifin merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Mukhlis (46) dan Afrianti (40) asal Desa Lamgeu eu, Peukan Bada, Aceh Besar. Ayahnya menjalankan usaha toko kelontong dengan penghasilan antara Rp1-Rp1,5 juta per bulan.
Meski diterima UGM tanpa tes dan mendapat beasiswa, kedua orang tua Arifin masih bingung dengan biaya hidup anaknya di Kota Yogyakarta nanti karena kondisi ekonominya tidak memungkinkan.
Mukhlis mengaku senang, Arifin diterima di UGM. Usaha dan kerja keras anaknya akhirnya membuahkan hasil. Namun, dia juga masih butuh biaya untuk keberangkatan dan hidup Arifin selama kuliah.
“Begitu diterima masuk UGM, saya bahagia sekaligus sedih karena masih mikir apa nanti bisa kuliah sampai selesai karena terkendala biaya. Sebab, ternyata beasiswanya tidak full, asrama dan biaya hidup tidak ditanggung,” katanya.
Muklis pun mengaku sempat meminta anaknya mengurungkan niatnya kuliah di UGM.
“Saat itu saya bilang ke anaknya untuk tidak usah diambil karena memang tidak mampu biayanya, bantu-bantu di rumah jualan saja,” kata Mukhlis.
Mukhlis kemudian ke sekolah untuk menyampaikan permasalahan yang dihadapi. Saat itulah dari sekolah menyarankan Arifin tetap lanjut kuliah.
“Soal biaya hidup kata sekolah nanti bisa cari beasiswa KIP. Semoga dapat, kalau tidak ya anaknya cari beasiswa lainnya untuk hidup di Yogyakarta,” kata Mukhlis.
Mukhlis berharap anaknya bisa menjalani kuliah dengan lancar, lulus tepat waktu, dan segera mendapatkan pekerjaan.
“Kami hanya bisa mendoakan lancar kuliah dan jadi orang sukses, bisa membantu keluarga nantinya,” katanya.
Arifin lahir di barak pengungsian, tiga bulan setelah Tsunami Aceh. Selama dua tahun dia tinggal di barak pengungsian karena rumah orang tuanya rata dengan tanah. Arifin lahir prematur di usia kandungan tujuh bulan dengan bobot 1,3 Kg.
“Saat tsunami usia kandungan ibu baru lima bulan. Alhamdulillah, bapak dan ibu berhasil selamat dari tsunami, lari ke bukit,” tuturnya.
Dua tahun usai tsunami, keluarganya kembali ke kampung halaman menempati rumah bantuan dari pemerintah. Ayahnya kemudian memulai usaha toko kelontong, warisan keluarga di Desa Keudebing yang berjarak 4 kilometer dari rumahnya.
Meski hidup sederhana, Arifin justru meraih prestasi di bangku sekolah. Sejak SD hingga SMP ia selalu masuk tiga besar di sekolah. Sedangkan pada jenjang SMA selalu meraih ranking satu dan mendapatkan beasiswa pendidikan.
Sederet prestasi di tingkat nasional pernah diraih, seperi juara pertama kompetisi Bahasa Inggris Jenius Competition 2022, juara 1 lomba esai FPCI UGM 2022, dan juara 1 Olimpiade Bahasa Inggris yang digelar PT Bima Competition.
Keinginan berkuliah semakin menguat karena dorongan dari guru di sekolahnya MAN 1 Banda Aceh. Arifin menjatuhkan pilihan ke UGM sebagai tempat untuk melanjutkan studi.
“Sejak SMP memang pengen kuliah di UGM,” katanya.
UGM komitmen membuka akses pendidikan bagi masyarakat termasuk bagi masyarakat kurang mampu, daerah 3T, serta penyandang disabilitas. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan pendidikan berkualitas, inklusif, berkeadilan, dan merata untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
Editor : Kastolani Marzuki
Artikel Terkait