Marsose dikenal sebagai pasukan kecil dengan daya gempur yang dahsyat terhadap pertahanan lawan (Istimewa)

JAKARTA, iNews.id - Perlawanan pahlawan terhadap kolonial Belanda di Aceh sempat mencatatkan sejarah kelam. Sejarah ini ditorehkan dengan adanya pasukan khusus zaman kolonial Belanda bernama Marsose.

Marsose atau marechaussee merupakan pasukan khusus komando pertama yang beranggotakan campuran antara warga pribumi dan Belanda. 

Pasukan kecil ini merupakan unit infanteri dengan mobilitas tinggi, punya daya tahan tinggi di berbagai medan, dan memiliki kemampuan bertempur yang kuat dibandingkan pasukan biasa.

Marsoses dikenal sebagai pasukan kecil dengan daya gempur yang dahsyat terhadap pertahanan lawan. Marsose yang secara resmi disebut Korps Marechaussee te Voet.

Pasukan ini dibentuk pada 26 Oktober 1814 oleh Pemerintah Belanda berdasarkan Dekrit No 48. Namun Korps Marechaussee te Voet yang ada di Belanda berbeda dengan marsose yang bertugas di Hindia Belanda (Indonesia).

Menurut Paul Vant Veer dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid X, Jakarta, disebutkan bahwa Marsose di Hindia Belanda dibentuk atas usulan dari Teuku M Arif, jaksa kepala di Kutaraja, Aceh yang mendukung Belanda.

Saat itu, dia memberi nasihat kepada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal Van Teijn untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri antigerilya yang memiliki mobilitas tinggi.

Selanjutnya marsose dibentuk di Hindia Belanda yang personelnya merupakan anggota pilihan dari berbagai kesatuan Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) baik pribumi maupun Eropa pada.

Banyak warga pribumi dengan kemahiran dalam pertarungan menjadi anggota marsose karena mereka lebih familiar dengan iklim tropis.

Pembentukan pertama korps ini terdiri dari satu divisi yang terbagi dalam dua belas brigade, yang masing-masing terdiri dari dua puluh orang serdadu Ambon dan Jawa di bawah pimpinan seorang sersan Eropa dan seorang kopral Indonesia.

Pasukan ini beraksi menggunakan senapan dengan ukuran yang lebih pendek dari senapan biasa (karaben) dan tidak tergantung angkutan militer serta biasa berjalan kaki. 

Selain itu, unit marsose juga tidak bergantung pada jalur suplai logistik. Personel marsose selain dipersenjatai karaben juga dipersenjatai senjata tajam tradisional khas penduduk setempat seperti klewang, rencong dan sebagainya.

Keunggulan lainnya, marsose memiliki karakter tersendiri dalam bertempur. Mereka tidak terlalu mengandalkan senjata api, melainkan senjata tajam sejenis klewang untuk menghabisi lawannya dalam jarak dekat.

Selain itu penggunaan senjata tajam sangat membantu prajurit khusus ini sehingga bisa membunuh lawan tanpa harus membuat gaduh dan kehilangan peluru.

Kiprah Marsose di Aceh

Marsose memulai kiprahnya di Hindia Belanda (nusantara) dengan terjun di Bumi Serambi Mekkah pada tahun 1890. Salah satu unit marsose yang diterjunkan di Aceh dikenal dengan nama Kolone Macan.

Kolone Macan adalah unit khusus yang dibentuk untuk memadamkan perlawanan para pejuang Aceh. Pasukan khusus ini berhasil memukul mundur pejuang Aceh dan sempat menangkap salah satu Panglima Aceh, Teuku Umar yang kemudian mati syahid.

Kiprah pasukan marsose juga dinilai berhasil mengalahkan pasukan Sisingamangaraja XII saat berperang di pedalaman Sumatera Utara pada 1907. Pasukan ini dipimpin Letkol WBJA Scheepens dan Hans Christoffel yang juga telah berhasil dalam menjalankan tugasnya di Aceh.

Hans Christofell adalah orang yang memimpin pengejaran terhadap Sisingamangaraja XII dengan bantuan prajurit Belanda dari Senegal yang sangat ahli berburu.

Setelah mereka memadamkan perjuangan Sisingamangaraja XII, di pedalaman Sumatra Utara, Piso Gaja Dompak, pedang pusaka yang biasa dibawa bertempur oleh Sisingamangaraja XII lalu diserahkan ke Gubernur Jenderal Hindia Belanda sebagai bukti raja di tanah Batak ini telah ditaklukan.

Bubar

Pada tahun 1930 pasukan Marsose di Indonesia resmi dibubarkan. Setelah bubar tak diketahui jelas kemana saja para pasukan ini menyebar. Tapi, yang pasti mereka benar-benar telah memberikan sejarah kelam dalam dunia militer di Nusantara.

Cerita mengenai marsose juga mulai redup sejak kedatangan tentara Dai Nippon di Indonesia. Kemudian tradisi pasukan khusus Belanda di Indonesia dihidupkan kembali oleh putra Letkol WBJA Scheepens yakni Kapten WJ Scheepens ketika tentara Belanda mendarat pada tahun 1945.

Kapten Scheepens mengembangkan gagasannya untuk membentuk Pasukan Khusus (Speciale Troepens) sehingga pimpinan KNIL menyetujuinya dengan mendirikan Depot Speciale Troepens (DST) pada 15 Juli 1946. Pasukan DST yang berciri khas berbaret hijau ini dikomandoi oleh Kapten WJ Scheepens personelnya juga direkrut dari berbagai suku dan bangsa.

Pasukan ini diberi pelatihan strategi dan taktik pasukan komando di berbagai tempat mulai dari Polonia, Kalibata hingga akhirnya di Batujajar, Bandung. Lalu pada 20 Juli 1946 Komandan DST diserahterimakan kepada Westerling.

Baret Merah

Sekarang tempat latihan pasukan DST di Batujajar digunakan untuk melatih anggota Kopassus, pasukan elite TNI AD. Batujajar, Jawa Barat digunakan untuk mengambil spesialisasi Para dan Komando bagi para anggota Kopassus. Selain DST terdapat juga pasukan payung Belanda yang bertugas di Indonesia.

Pasukan ini memiliki ciri khas berbaret merah yang mengadopsi pasukan khusus dari Inggris. Kemudian Kepala Staf KNIL di Indonesia Jenderal Simon Spoor mengabungkan DST dengan pasukan payung berbaret merah Belanda.

Spoor menggabungkan konsep komando dan para bagi pasukan ini dengan nama Korps Speciale Troepen (KST).

Pada 1 Mei 1947 Jenderal Spoor melantik pasukan gabungan ini. Salah satu anggotanya adalah Rokus Bernadus Visser atau Muhammad Idjon Janbi yang kemudian menjadi pelatih sekaligus komandan pasukan khusus TNI AD yang merupakan cikal bakal Komando Pasukan Khusus (Kopassus).


Editor : Nur Ichsan Yuniarto

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network