ACEH, iNews.id - Pergolakan kerajaan Islam di Sumatera akan dibahas dalam artikel ini. Perbedaan ini mulai dari perbedaan mazhab atau aliran konon hingga berebut hasil bumi di Aceh.
Perebutan kekuasaan terjadi di antara dinasti asing dan pribumi yakni dinasti Sayid Aziz dan dinasti Marah. Saat iu, yang diperebutkan sebenarnya adalah hasil lada yang dikuasai oleh sultan Perlak dan diekspor melalui Bandar Perlak.
Kisah Pergolakan Kerajaan Islam di Sumatera
Menurut musafir Arab dan Tionghoa, penanaman lada di Aceh telah dikenal sejak abad ke-9, yakni di daerah Nampoli, Perlak, Lamuri dan Samudera. Lada Aceh itu kiranya berasal dari Malagasi.
Pada abad ke-7 dan ke-8 sebagaimana dikutip dari "Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara" dari Prof. Slamet Muljana, penanaman lada telah dikenal di Malagasi. Hasil lada di Malagasi dijadikan bahan perdagangan oleh pedagang-pedagang Arab dan Persi di sepanjang pantai Asia dan di benua Eropa.
Pedagang-pedagang Persi dan Arab, yang banyak berlayar ke pantai timur Sumatra, membawa dagangan lada dan mencoba menanam lada di daerah Aceh. Perlak dijadikan bandar utama di pantai timur Sumatra bagian utara untuk ekspor lada, karena eskpor lada mendatangkan banyak keuntungan.
Maka pedagang-pedagang asing dari Mesir, Persi dan Gujarat, yang datang di pelabuhan Perlak dan kemudian menetap di situ, ingin menguasai seluruhnya hasil lada yang sejak semula dikuasai oleh Marah Perlak. Salah se-lorang pedagang Arab berhasil kawin dengan putri Marah Perlak.
Dari perkawinan itu, lahirlah Sayid Abdul Aziz. Dengan sokongan para pedagang asing yang menganut agama Islam aliran Syi'ah, Sayid Abdul Aziz berhasil merebut kekuasaan Marah Perlak dan kemudian mendirikan kesultanan Perlak pada tahun 1161.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait