Menurut Tgk Salmi, kebiasaan ini tidak diperintahkan dalam hukum islam. Begitu juga dalam adat atau budaya Aceh, hanya saja suatu kebiasaan masyarakat dari zaman dulu, sehingga tetap dilestarikan hingga sekarang.
Tujuannya, menurut dia, masyarakat ingin hewan kurban yang disembelih itu bersih, sehingga memperlakukan layaknya mengurus anggota keluarga yang diniatkan dalam kurban tersebut, baik yang masih hidup ataupun telah meninggal dunia.
“Kalau berkurban tapi tidak menyediakan ini juga enggak masalah, tidak ada denda atau hukuman. Jadi kalau bilang ini adat gampong maka kalau tidak dilakukan akan kena denda gampong, tapi ini bukan adat, hanya kebiasaan saja,” ujarnya.
Sementara itu, tokoh masyarakat Krueng Batee Tgk Muktar Ali mengatakan bahwa tradisi tersebut tidak dianjurkan atau diterangkan dalam Al Quran maupun hadis Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ini hanya berdasarkan kebiasaan masyarakat dari zaman dulu, dan tidak menjadi masalah jika tetap dilestarikan masyarakat sebagai kearifan lokal.
“Jadi kenapa memilih kain putih itu, orang tua kita dulu mengibaratkan hewan kurban dengan orang meninggal, sehingga perlu dibalut dengan kain kafan, ditudungi pakai kafan saat penyembelihan juga sebagai pelindung saja,” ujarnya.
Menurut dia, masyarakat dari zaman dulu ingin agar hewan kurban yang disembelih tersebut dalam kondisi bersih, sehingga dirawat dengan baik. Lalu, dibekali sejumlah perlengkapan hingga akhirnya disedekahkan ke masjid.
Kendati demikian, bukan menjadi kewajiban bagi masyarakat untuk harus melakukan ini, hanya saja sebagai tradisi.
“Dalam hukum Allah tidak disampaikan mandi (hewan kurban) harus dengan sabun, tapi cukup bersih saja. cuma karena masyarakat kita betul-betul sayang maka dimandikan pakai sabun, disikat juga, asalkan jangan sampai rontok bulu kambingnya,” ujarnya.
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait