Pahlawan Nasional dari Aceh, Pejuang Tangguh Mampu Bakar Semangat Pasukan
JAKARTA, iNews.id - Pahlawan nasional dari Aceh yang perlu diketahui. Siapa saja para pahlawan tersebut, simak uraian lengkapnya.
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki banyak catatan sejarah pada masa perjuangan melawan penjajah kolonial Belanda maupun Jepang.
Begitu banyak pertempuran yang terjadi di wilayah yang dikenal dengan sebutan Tanah Rencong. Hal ini dikarenakan rakyat Aceh menolak menyerah dan tunduk pada kolonialisme.
Dari perlawanan masyarakat Aceh, banyak bermunculan pahlawan nasional dari Aceh yang turut memperjuangkan dan berperang demi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pemberian gelar pahlawan nasional kepada mereka telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan. Siapa saja?
Salah satu pahlawan nasional dari Aceh yang terkenal di Nusantara, yaitu Cut Nyak Dhien. Lahir pada 1848 di kampung Lampadang, Aceh Besar. Sebagai seorang dari keturunan bangsawan, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat kepahlawanan yang diturunkan dari sang ayah yang juga berjuang dalam perang Aceh melawan kolonial Belanda.
Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim. Dia merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, seorang perantau dari Minangkabau. Cut Nyak Dhien dikenal sebagai pejuang yang tangguh dan mampu menghidupkan semangat teman seperjuangan dan pengikutnya.
Hingga menginjak usia senja, Cut Nyak Dhien dan pengikutnya terus bergerilya serta menolak untuk menyerah. Pada 7 November 1905, Cut Nyak Dhien ditangkap oleh Pang Laot yang telah membuat perjanjian dengan Belanda.
Setelah ditangkap ia kemudian diasingkan ke Sumedang.Cut Nyak Dien meninggal pada 6 November 1908 di tempat pengasingannya. Cut Nyak Dhien secara resmi dinobatkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 106/TK/1964 tanggal 2 Mei 1964.
Cut Nyak Meutia atau Cut Meutia lahir di Keureuto, Aceh Utara, pada 15 Februari 1870. Ayahnya bernama Teuku Ben Daud Pirak dan ibunya bernama Cut Jah. Cut Meutia merupakan anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara. Saat memasuki usia dewasa Cut Meutia dinikahkan dengan Teuku Syamsarif.
Namun, pernikahan tersebut tak bertahan lama. Cut Meutia akhirnya membangun rumah tangga bersama Teuku Chik Tunong. Keduanya berjuang bersama menjalankan siasat perang gerilya dan spionase yang diawali pada 1901.
Setelah Cik Tunong dijatuhkan hukuman tembak mati oleh Belanda, Cut Meutia tetap melanjutkan perjuangan bersama Pang Nanggroe hingga 25 September 1910.
Setelah wafatnya Pang Nanggroe pun, Cut Meutia tetap melakukan perlawanan bersenjata. Cut Meutia akhirnya gugur di medan perang pada 24 Oktober 1910 ketika berusia 40 tahun. Cut Meutia kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada 2 Mei 1964.
Teuku Nyak Arif merupakan anak dari seorang Ulee Balang Panglima Sagi XXVI mukim. Ia lahir pada tanggal 17 Juli 1899 di Ulee Lheue 5 km dari Banda Aceh. Teuku Nyak Arif telah dikenal sebagai sosok yang pandai ketika masa kecilnya. Menginjak masa remaja rasa nasionalismenya kian meninggi.
Pada 16 Mei 1927 Teuku Nyak Arif diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad), di samping tetap menjabat sebagai Panglima Sagi XXVI mukim.
Hal ini kemudian digunakan oleh Teuku Nyak Arif untuk mengkritik pemerintah Belanda. Hal yang sama pun dilakukannya ketika Jepang mulai memasuki Indonesia. Sikap berani yang ditunjukkan oleh Teuku Nyak Arif membuat sosoknya menjadi tokoh yang diperhatikan oleh Jepang.
Pada Oktober 1945 Teuku Nyak Arif membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API). Aktivitas yang padat kemudian membuatnya jatuh sakit.
Pada 4 Mei 1946 ia pun meninggal dunia dan dimakamkan di Desa Lamreung, Aceh Besar. Teuku Nyak Arif kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 071/TK/1974 pada 9 November 1974.
Pahlawan Nasional dari Aceh selanjutnya, yaitu Teuku Muhammad Hasan. Beliau diangkat sebagai pahlawan nasional pada tahun 2006 oleh Pemerintah Republik Indonesia. Pengangkatannya itu tertulis pada Surat Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 085/TK/Tahun 2006 pada 3 November 2006.
Teuku Muhammad Hasan lahir di Pidie, Aceh pada 4 April 1906. Dia menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Soekarno. Dia juga pernah menjadi Gubernur Wilayah Sumatera pertama setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945. Teuku Muhammad Hasan meninggal di Jakarta pada tanggal 21 September 1997.
Teuku Umar lahir di Meulaboh, Aceh pada 1854. Teuku Umar diberi gelar pahlawan nasional lewat Surat Keputusan No. 087/TK/1973 pada tanggal 6 November 1973. Ketika perang Aceh meletus pada tahun 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya. Saat itu usianya baru menginjak 19 tahun. Pada usia 20 tahun, beliau menikah dengan Cut Nyak Dhien.
Teuku Umar pernah berpura-pura bekerja sama dengan Belanda. Hal ini merupakan taktik yang beliau gunakan untuk mendapatkan senjata dan uang yang akan dibagikan kepada para pejuang lainnya.
Teuku Umar gugur pada 11 Februari 1899 saat melawan pasukan Belanda yang dipimpin Van Heutsz di Suak Ujong Kalak, Meulaboh. Jenazahnya dimakamkan di Mesjid Kampung Mugo di Hulu Sungai Meulaboh. Untuk mengenang jasa beliau, nama Teuku Umar diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di Indonesia. Ada pula salah satu kapal perang TNI AL yang diberi nama KRI Teuku Umar (385).
Teungku Chik Ditiro Muhammad Saman merupakan salah satu pahlawan nasional dari Aceh selanjutnya. Beliau lahir di Dayah Jrueng kenegerian Cumbok Lam Lo, Tiro, Pidie, pada 1 Januari 1836.
Teungku Chik Ditiro diberi gelar pahlawan nasional lewat Surat Keputusan (SK) No. 087/TK/1973 pada 6 November 1973. Selain ulama, dia merupakan Panglima besar perang Aceh. Dia menjadi pemimpin perang ketika perlawanan terhadap Belanda mulai menyurut pada tahun 1881.
Teungku Chik Ditiro meninggal pada 1891 karena diracun oleh seorang perempuan Aceh. Racun itu dicampurkan ke makanan yang beliau makan. Dia kemudian dimakamkan di Desa Meureu, Indrapuri.
Sultan Iskandar Muda memiliki nama asli Paduka Seri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam. Beliau lahir pada 1583 di Bandar Aceh Darussalam. Pemerintah Republik Indonesia mengangkat Sultan Iskandar Muda sebagai Pahlawan Nasional melalui Keputusan Presiden No. 077/TK/1993 pada 14 September 1993.
Sultan Iskandar Muda merupakan salah satu raja besar yang membawa Kesultanan Aceh ke zaman keemasan. Dia berkuasa pada tahun 1607 sampai 1636.
Pada masa kepemimpinannya, Aceh menguasai Sumatera serta sebagian daerah Malaysia seperti Johor dan Kedah. Aceh juga menyerang Portugis di Malaka ketika masa pemerintahannya.
Dia memimpin Kesultanan Aceh Darussalam selama kurang lebih 30 tahun. Sultan Iskandar Muda wafat pada tahun 1636 M dan makamnya terletak dalam komplek Kandang Mas di Banda Aceh yang dahulu pernah dihancurkan oleh Belanda. Nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama bandar udara internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh.
Laksamana Malahayati merupakan salah satu pejuang perempuan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Dia lahir di Aceh Besar pad 1550. Laksamana Malahayati merupakan putri dari Laksamana Mahmud Syah.
Malahayati pernah menjadi Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Pada 11 September 1599, Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda pahlawan yang gugur) untuk berperang melawan kapal serta benteng milik Belanda. Dalam perlawanannya tersebut dia membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal.
Gelar Laksamana kemudian diberikan kepadanya atas keberaniannya tersebut. Beliau meninggal pada tahun 1615 dan dimakamkan di bukit Krueng Raya, Lamreh, Aceh Besar. Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada beliau berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 115/TK/2017 pada 6 November 2017.
Editor: Kurnia Illahi