Peran Penting Aceh Dalam Kemerdekaan Indonesia, Salah Satunya Patungan Beli Pesawat
JAKARTA, iNews.id - Aceh berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia pada masa perjuangan. Terletak di bagian paling barat gugusan kepulauan Nusantara, Aceh merupakan daerah yang tidak pernah dikuasai musuh dan merupakan modal utama Republik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan.
Pernyataan ini didukung kenyataan, satu-satunya daerah di wilayah Indonesia yang pada waktu itu tidak pernah diduduki Belanda adalah daerah Aceh. Hal ini pulalah yang dijadikan modal utama utusan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den Haag, bahwa Republik Indonesia masih memiliki wilayah bebas penguasaan Belanda.
1. Warga Aceh patungan Beli Pesawat untuk Indonesia
Rakyat Aceh membantu perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dengan patungan menyumbangkan harta untuk membeli sebuah pesawat. Antusias rakyat Aceh dalam membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan beberapa informan.
Mereka rela pintu rumah digedor waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian dari emas atau barang lainnya demi untuk negara.
Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama 'Seulawah' yaitu nama sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie. Pesawat ini diberi nomor RI-001.

2. Aceh daerah modal
Aceh menjadi daerah modal pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan karena pada masa itu tidak tersentuh penjajahan Belanda. Daerah Aceh dijadikan pangkalan produksi dan ekspor impor yang hasilnya dijadikan modal perjuangan untuk wilayah Jawa dan daerah lain yang dilanda perang)
Rakyat Aceh juga mengumpulkan serta menyumbang harta pribadi mereka untuk Indonesia. Selain itu menyumbangkan senjata, makanan, pakaian dan lain-lain untuk membantu perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area sebanyak 72 ekor kerbau.
3. Alat komunikasi Radio Rimba Raya
Salah satu modal perjuangan bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan yakni alat komunikasi, yaitu Radio Rimba Raya. Sejak masa awal perang kemerdekaan pada tahun 1946, daerah Aceh telah memiliki sebuah pemancar radio yang ditempatkan di Kutaraja.
Dalam perkembangan selanjutnya tahun1947, ditambah sebuah pemancar lagi yang ditempatkan di Aceh Tengah dan dikenal dengan nama Radio Rimba Raya.
Kedua pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang kemerdekaan sehingga sarana ini dapat dikatakan modal perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Mengenai Radio Republik Indonesia Kutaraja ini pertama kali mengumandang di udara pada tanggal 11 Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui gelombang 68 meter. Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja.
Namun dalam perkembangannya tahun 1947 radio ini berhasil dikembangkan menjadi 100 watt yang jangkauan siarannya sampai ke kota Medan dan Bukittinggi.
Selanjutnya pada April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat ditangkap hingga luar negeri.
Ketika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) bersidang membicarakan masalah pertikaian antara Republik Indonesia dengan Belanda, Radio Republik Indonesia Kuta Raja ini berulang-ulang mengadakan siaran dengan menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Mengenai Radio Rimba Raya berbeda dengan Radio Republik Indonesia Kutaraja. Pemancar Radio Rimba Raya ini mempunyai kekuatan cukup besar yaitu 1 kilowatt yang dikelola Divisi X TNI dipimpin Mayor John Lie.
Pemancar ini pertama sekali dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari kota Takengon, kemudian atas perintah Gubernur Militer radio ini dipindahkan ke Cot Gu (Kutaraja). Lalu dipindahkan lagi ke Aceh Tengah karena para pemimpin memperkirakan, bahwa pada gilirannya Belanda akan menyerbu ke Aceh.
Radio ini ditempatkan di sebuah gunung yang dikenal dengan Burmi Bius, letaknya 10 km di bagian barat Kota Takengon.
Dalam waktu singkat sesuai dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan mendesak, pemancar Radio Rimba Raya selesai di bangun yang dikerjakan W Schultz seorang warga keturunan Indonesia-Jerman bersama rekannya. Maka semenjak itulah ketika pemancar-pemancar utama di berbagai kota tidak mengudara lagi karena dikuasai Belanda, Radio Rimba Raya mengisi kekosongan ini dengan hasil yang baik sekali.
Ketika Radio Batavia dan Radio Hilversum memberitakan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi karena Yogyakarta dapat direbut, disusul pula dengan jatuhnya daerah-daerah kekuasaan RI lainnya, Radio Rimba Raya membantah dengan tegas.
Radia Rimba Raya mengabarkan Republik Indonesia masih ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih ada dan wilayah Republik Indonesia masih ada.
"Dan di sini adalah Aceh, salah satu wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya,” kata siaran radio tersebut sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.
Editor: Donald Karouw